Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan
Menurut Komisi Nasional
Perempuan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang
disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik terhadap tubuh seksual
seseorang. Termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan
bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan
seksual. Sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual
dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, dan merasa direndahkan
martabatnya (Komisi Nasional Perempuan [Komnas Perempuan], 2009).
Menurut Sumera. Pelecehan seksual memiliki rentang
yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar), perilaku (mencolek)
tidak senonoh, ataupun mempertunjukkan gambar porno. Pihak perempuan dapat pula
diserang atau dipaksa untuk mencium, memeluk ataupun diancam apabila menolak
memberikan pelayanan seksual (Sumera, 2013). Menurut Vein, pelecehan seksual
adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan,
termasuk permintaan untuk melakukan seks baik secara verbal maupun fisik (Vein,
2014).
Maka
dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah tindakan bernuansa seksual
yang bukan hanya dilihat dari tindakan nyata melainkan dapat diungkapkan secara
verbal.
Masalah Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual merupakan
bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum
nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah global (Atmasasmita,
dikutip dalam Sumera, 2013). Perjalanan pergerakan perempuan yang seringkali
digolongkan sebagai second class citizens sangat panjang dalam
upaya memperjuangkan hak-hak mereka agar setara dengan kaum laki-laki. Di
daerah konflik, kedudukan perempuan makin terpuruk dengan adanya berbagai tindak
kekerasan yang menciptakan cukup banyak korban baik secara fisik maupun
psikologis. Hukum Indonesia tidak mengenal istilah kekerasan terhadap
perempuan, meskipun fakta ini muncul semakin marak di berbagai penjuru Indonesia
(Kalibonso, dikutip dalam Sumera, 2013).
Penyebab Pelecehan Seksual
Faktor intern. Adalah faktor-faktor
yang terdapat pada diri individu. Faktor ini khusus dilihat dari individu serta
dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual (Nainggolan,
2008).
Faktor
kejiwaan. Yakni kondisi kejiwaan atau kesadaran diri yang tidak normal
dari seseorang juga dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya,
nafsu seks yang abnormal, sehingga melakukan pemerkosaan terhadap korban wanita
yang tidak menyadari kesadaran diri si penjahat (Nainggolan, 2008).
Sakit jiwa. Dalam keadaan sakit jiwa,
penderita memiliki kelainan mental yang didapat baik dari faktor keturunan
maupun dari sikap kelebihan dalam pribadi orang tersebut. Sehingga ia sulit
menetralisir rangsangan seksual sebagai energi psikis yang tumbuh dalam
dirinya, dan apabila tidak diarahkan akan menimbulkan hubungan yang menyimpang
(Nainggolan, 2008).
Psycho-patologi. Mengandung arti bahwa
pada diri seseorang tertentu yang memungkinkan seseorang tersebut melakukan
perbuatan tertentu yang menyimpang, walaupun orang tersebut tidak sakit jiwa
(Chainur, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
Psikologis. Salah satu aspek dari
hubungan seksual adalah aspek yang mendasari puas atau tidak puasnya dalam
melakukan hubungan seksual dengan segala eksesnya. Bukan berarti setiap
melakukan hubungan seksual dapat memberikan kepuasan, adapula kemungkinan
tertentu yang muncul akibat ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual. Dan
aspek inilah yang merupakan penyimpangan hubungan seksual terhadap pihak lain
yang menjadi korbannya (Nainggolan, 2008).
Faktor
biologis. Di dalam kehidupannya manusia mempunyai berbagai macam
kebutuhan yang harus dipenuhi, dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut
manusia menciptakan aktivitasnya. Bila tujuan itu tercapai, kebutuhan yang
terpenuhi itu mungkin hanya untuk sementara dan merupakan batas penghentian
aktivitasnya (Nainggolan, 2008). Atribut pelecehan seksual terhadap perempuan
merupakan kelemahan laki-laki dalam mengontrol dorongan alamiahnya tersebut.
Laki-laki melakukan pelecehan seksual untuk memenuhi kebutuhannya sendiri yaitu
melakukan rangsangan erotis untuk menutupi dan mengatasi kelemahannya.
Ketidakmampuannya dalam menahan keinginan dan dorongan-dorongan seksualnya
sendiri yang diungkapkan melalui pelecehan seksual (Collier, dikutip dalam
Vein, 2014).
Faktor
moral. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku
yang menyimpang. Sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang
kebaikan-kebaikan dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku.
Pada kenyataannya, moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah, melainkan ada
pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat (Nainggolan, 2008).
Stress
terhadap pernikahan. Mengalami stres terhadap kehidupan pernikahannya
akan membuat seseorang berada dalam tekanan emosional sehingga rentan melakukan
pelecehan seksual (“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi,
n.d.).
Faktor ekstern. Adalah faktor-faktor
yang berada di luar diri pelaku. Faktor ekstern ini berpangkal pokok pada
individu yang mempunyai hubungan dengan kejahatan kesusilaan (Nainggolan,
2008).
Faktor
sosial budaya. Realita bahwa fisik laki-laki lebih kuat dari pada
perempuan turut mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tingkah laku laki-laki
terhadap perempuan dan sebaliknya. Selain itu, budaya pun mempengaruhi
perlakuan seksualitas yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi. Hal ini
berdasarkan peran jenis kelamin atau social-role
stereotype, dimana menempatkan laki-laki pada posisi superordinat dan
perempuan dalam posisi subordinat. Hal ini lebih memungkinkan timbulnya
pelecehan (perendahan secara harkat dan martabat) sampai timbulnya pelecehan
seksual (Collier, dikutip dalam Vein, 2014). Akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya dampak negatif terhadap
kehidupan manusia. Akibat modernisasi tersebut, berkembanglah budaya pergaulan
yang semakin bebas, cara berpakaian perempuan yang merangsang adalah faktor
dominan yang mempengaruhi timbulnya kejahatan seksual (Nainggolan, 2008).
Faktor
pendidikan. Pendidikan dalam hal ini juga berpengaruh terhadap adanya
pelecehan seksual. Perempuan belum punya banyak kesempatan untuk menikmati
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga belum mampu menolak perlakuan,
sikap diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini biasanya terjadi dengan
keberadaan atau posisi laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai
bawahannya (Collier, dikutip dalam Vein, 2014).
Faktor
ekonomi. Pada masyarakat dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi
rendah, mobilitas sangat rendah frekuensinya sehingga realisasi mobilitas
tersebut terpaku pada lingkungannya saja. Hal mana mendorong budaya kekerasan
sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah adalah kaum perempuan. Apalagi
adanya budaya kekerasan yang mendominir realitas kehidupan sehari-hari,
kekuatan kelompok merupakan simbol dan status sosial dalam masyarakat (Collier,
dikutip dalam Vein, 2014).
Suasana
yang mendukung. Biasanya pelecehan seksual lebih banyak terjadi di
fasilitas umum terutama pada angkutan umum yang penuh, sehingga orang suka
mencari-cari kesempatan (“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi
Komunikasi, n.d.).
Menurut
Vein (2014) penyebab pelecehan seksual adalah (a) pergeseran nilai-nilai sosial
di masyarakat, (b) sex education yang
kurang sejak dini baik dari orangtua maupun guru, (c) pelaku pelecehan seksual
sejak awal menderita sakit mental, (c) pelaku pelecehan mempunyai perilaku
antisosial, (d) sosialisasi dalam masyarakat yang kurang.
Dampak Pelecehan Seksual
Aspek psikologis. Menurut Kelly
(dikutip dalam Vein, 2014) dampak utama psikologis pelecehan seksual yang
sering muncul adalah (a) stres hingga breakdown,
(b) rasa tidak berdaya dan menarik diri, (c) kehilangan rasa percaya diri, (d)
merasa dirinya sebagai penyebab, (e) kebencian kepada orang yang berkelamin
sama seperti pelaku. Menurut Purnama (dikutip dalam Ulum, Lestari, &
Hertinjung, 2010) mengatakan bahwa korban kekerasan seksual dapat memberikan
dampak terhadap psikologisnya berupa mimpi buruk, kewaspadaan berlebihan,
gangguan tidur, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidupnya.
Gangguan
stres pasca trauma (PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas
autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman pedih
setelah stres fisik maupun emosional melampaui batas ketahanan (Kaplan, dikutip
dalam Wardhani & Lestari, n.d.).
Aspek fisik. Menurut Rumini dan Sundari
(dikutip dalam Vein, 2014) mengatakan bahwa perempuan yang mengalami pelecehan
seksual dapat mengalami akibat fisik seperti nyeri tulang belakang, kerusakan
organ internal yang sering menyebabkan kematian. Menurut Hoelzerdan (dikutip
dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa trauma fisik
(termasuk genitalia) yang dialami korban-korban kekerasan seksual yang bervariasi,
mulai dari luka memar hingga kematian. Cedera fisik yang paling sering terjadi
adalah pada bagian kepala, wajah, dan leher.
Aspek romantisme. Menurut Wirawan
(dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa selain
dampak fisik dan psikologis, korban kekerasan seksual akan mengalami kesulitan
dalam berhubungan dengan orang lain, dan cenderung bersikap agresif.
Kesulitan
dalam berhubungan. Menurut Loeb (dikutip dalam Ulum, Lestari, &
Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa tingkat masalah yang timbul dari adanya
keinginan yang rendah dalam hubungan seksual, ketidakmampuan untuk mentoleransi
sentuhan atau untuk pengalaman orgasme. Menurut Dennerstein, Guthrie, dan
Alford (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa
sejarah korban kekerasan seksual menyebabkan rendahnya kualitas hubungan dengan
pasangannya.
Kenangan
traumatis. Menurut Ulum, Lestari, dan Hertinjung (2010) menyatakan
bahwa pengalaman traumatis berhubungan dengan rasa aman, kekuasaan, kepercayaan,
harga diri, dan kedekatan. Korban kekerasan juga mengalami kesulitan dalam
membangun rasa percaya diri dan cinta terhadap lawan jenis. Hal ini dikarenakan
adanya evaluasi negatif yang berhubungan dengan harga dirinya (McCann dalam
Loho, 2002).
Upaya Pencegahan
Kejahatan
atau tindakan kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang
yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Perilaku menyimpang
itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial
dan merupakan ancaman potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial (Muladi
& Nawawi, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
Upaya penal. Upaya penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana yang merupakan cara paling tua namun
masih digunakan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir
selalu digunakan dalam produk legislatif untuk menakuti dan mengamankan
bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang (Nawawi,
dikutip dalam Nainggolan, 2008).
Upaya non penal. Penanggulangan secara
non penal adalah penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang
berarti bahwa penanggulangan ini lebih bersifat preventif. Usaha-usaha non
penal dapat berupa penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan
tanggung jawab sosial warga masyarakat (Nainggolan, 2008).
Upaya preventif. Penanggulangan secara
preventif adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada
pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Kejahatan
dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan itu sebab
bagaimanapun kejahatan tidak akan pernah habis. Dalam hal ini usaha pencegahan
lebih diutamakan, karena jelas lebih baik dan ekonomis dibandingkan tindakan
represif (Nainggolan, 2008).
Upaya reformatif. Upaya reformatif
adalah segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah
melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang-undang. Upaya ini bertujuan
untuk mengurangi jumlah kejahatan ulangan, dan dilakukan setelah adanya
upaya-upaya untuk memperbaiki jiwa penjahat kembali (Nainggolan, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Komisi Nasional Perempuan. (n.d.). Kekerasan seksual. Diunduh dari
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2013/12/Kekerasan-Seksual-Kenali-dan-Tangani.pdf
Nainggolan,
L. H. (2008). Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Jurnal Equality, 13(1), 75-80. Diunduh
dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18417/1/equ-feb2008-13%20(2).pdf
(“Pelecehan
Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi. “ n.d.). Diunduh dari http://humas-virtual.blogspot.com/2013/01/pelecehan-seksual-dalam-pandangan.html
Sumera,
M. (2013). Perbuatan kekerasan/ pelecehan seksual terhadap perempuan. Lex et Societatis, 1(2), 43-44. Diunduh
dari http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/viewFile/1748/1389
Ulum, P.
N., Lestari, S., & Hertinjung, W. S. (2010). Romantisme wanita korban
kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. Indigenous,
Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 12(2), 126-136. Diunduh dari http://psikologi.ums.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/2010_romantisme-wanita-korban.pdf
Vein, V.
(2014). Makalah pleno. Diunduh dari https://www.scribd.com/doc/244119420/10/Efek-atau-dampak-dari-kekeasan-seksual-pada-anak-dan-perempuan-yaitu
Wardhani,
Y. F & Lestari, W. (n.d.). Gangguan stres pasca trauma pada korban
pelecehan seksual dan perkosaan. Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sistim dan Kebijakan Kesehatan. Diunduh dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Gangguan%20Stres%20Pasca%20Trauma%20pada%20Korban.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar