Selasa, 11 November 2014

Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan
Menurut Komisi Nasional Perempuan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik terhadap tubuh seksual seseorang. Termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual. Sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, dan merasa direndahkan martabatnya (Komisi Nasional Perempuan [Komnas Perempuan], 2009).
Menurut Sumera. Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar), perilaku (mencolek) tidak senonoh, ataupun mempertunjukkan gambar porno. Pihak perempuan dapat pula diserang atau dipaksa untuk mencium, memeluk ataupun diancam apabila menolak memberikan pelayanan seksual (Sumera, 2013). Menurut Vein, pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks baik secara verbal maupun fisik (Vein, 2014).
            Maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah tindakan bernuansa seksual yang bukan hanya dilihat dari tindakan nyata melainkan dapat diungkapkan secara verbal.


Masalah Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual merupakan bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah global (Atmasasmita, dikutip dalam Sumera, 2013). Perjalanan pergerakan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class citizens sangat panjang dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka agar setara dengan kaum laki-laki. Di daerah konflik, kedudukan perempuan  makin terpuruk dengan adanya berbagai tindak kekerasan yang menciptakan cukup banyak korban baik secara fisik maupun psikologis. Hukum Indonesia tidak mengenal istilah kekerasan terhadap perempuan, meskipun fakta ini muncul semakin marak di berbagai penjuru Indonesia (Kalibonso, dikutip dalam Sumera, 2013).

Penyebab Pelecehan Seksual
     Faktor intern. Adalah faktor-faktor yang terdapat pada diri individu. Faktor ini khusus dilihat dari individu serta dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual (Nainggolan, 2008).
     Faktor kejiwaan. Yakni kondisi kejiwaan atau kesadaran diri yang tidak normal dari seseorang juga dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya, nafsu seks yang abnormal, sehingga melakukan pemerkosaan terhadap korban wanita yang tidak menyadari kesadaran diri si penjahat (Nainggolan, 2008).
     Sakit jiwa. Dalam keadaan sakit jiwa, penderita memiliki kelainan mental yang didapat baik dari faktor keturunan maupun dari sikap kelebihan dalam pribadi orang tersebut. Sehingga ia sulit menetralisir rangsangan seksual sebagai energi psikis yang tumbuh dalam dirinya, dan apabila tidak diarahkan akan menimbulkan hubungan yang menyimpang (Nainggolan, 2008).
     Psycho-patologi. Mengandung arti bahwa pada diri seseorang tertentu yang memungkinkan seseorang tersebut melakukan perbuatan tertentu yang menyimpang, walaupun orang tersebut tidak sakit jiwa (Chainur, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
     Psikologis. Salah satu aspek dari hubungan seksual adalah aspek yang mendasari puas atau tidak puasnya dalam melakukan hubungan seksual dengan segala eksesnya. Bukan berarti setiap melakukan hubungan seksual dapat memberikan kepuasan, adapula kemungkinan tertentu yang muncul akibat ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual. Dan aspek inilah yang merupakan penyimpangan hubungan seksual terhadap pihak lain yang menjadi korbannya (Nainggolan, 2008).
     Faktor biologis. Di dalam kehidupannya manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi, dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia menciptakan aktivitasnya. Bila tujuan itu tercapai, kebutuhan yang terpenuhi itu mungkin hanya untuk sementara dan merupakan batas penghentian aktivitasnya (Nainggolan, 2008). Atribut pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan kelemahan laki-laki dalam mengontrol dorongan alamiahnya tersebut. Laki-laki melakukan pelecehan seksual untuk memenuhi kebutuhannya sendiri yaitu melakukan rangsangan erotis untuk menutupi dan mengatasi kelemahannya. Ketidakmampuannya dalam menahan keinginan dan dorongan-dorongan seksualnya sendiri yang diungkapkan melalui pelecehan seksual (Collier, dikutip dalam Vein, 2014).

     Faktor moral. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang menyimpang. Sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang kebaikan-kebaikan dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku. Pada kenyataannya, moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah, melainkan ada pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat (Nainggolan, 2008).
     Stress terhadap pernikahan. Mengalami stres terhadap kehidupan pernikahannya akan membuat seseorang berada dalam tekanan emosional sehingga rentan melakukan pelecehan seksual (“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi, n.d.).
     Faktor ekstern. Adalah faktor-faktor yang berada di luar diri pelaku. Faktor ekstern ini berpangkal pokok pada individu yang mempunyai hubungan dengan kejahatan kesusilaan (Nainggolan, 2008).
     Faktor sosial budaya. Realita bahwa fisik laki-laki lebih kuat dari pada perempuan turut mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tingkah laku laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya. Selain itu, budaya pun mempengaruhi perlakuan seksualitas yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi. Hal ini berdasarkan peran jenis kelamin atau social-role stereotype, dimana menempatkan laki-laki pada posisi superordinat dan perempuan dalam posisi subordinat. Hal ini lebih memungkinkan timbulnya pelecehan (perendahan secara harkat dan martabat) sampai timbulnya pelecehan seksual (Collier, dikutip dalam Vein, 2014). Akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Akibat modernisasi tersebut, berkembanglah budaya pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian perempuan yang merangsang adalah faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya kejahatan seksual (Nainggolan, 2008).
     Faktor pendidikan. Pendidikan dalam hal ini juga berpengaruh terhadap adanya pelecehan seksual. Perempuan belum punya banyak kesempatan untuk menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga belum mampu menolak perlakuan, sikap diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini biasanya terjadi dengan keberadaan atau posisi laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai bawahannya (Collier, dikutip dalam Vein, 2014).
     Faktor ekonomi. Pada masyarakat dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi rendah, mobilitas sangat rendah frekuensinya sehingga realisasi mobilitas tersebut terpaku pada lingkungannya saja. Hal mana mendorong budaya kekerasan sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah adalah kaum perempuan. Apalagi adanya budaya kekerasan yang mendominir realitas kehidupan sehari-hari, kekuatan kelompok merupakan simbol dan status sosial dalam masyarakat (Collier, dikutip dalam Vein, 2014).
     Suasana yang mendukung. Biasanya pelecehan seksual lebih banyak terjadi di fasilitas umum terutama pada angkutan umum yang penuh, sehingga orang suka mencari-cari kesempatan (“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi, n.d.).
            Menurut Vein (2014) penyebab pelecehan seksual adalah (a) pergeseran nilai-nilai sosial di masyarakat, (b) sex education yang kurang sejak dini baik dari orangtua maupun guru, (c) pelaku pelecehan seksual sejak awal menderita sakit mental, (c) pelaku pelecehan mempunyai perilaku antisosial, (d) sosialisasi dalam masyarakat yang kurang.



Dampak Pelecehan Seksual
     Aspek psikologis. Menurut Kelly (dikutip dalam Vein, 2014) dampak utama psikologis pelecehan seksual yang sering muncul adalah (a) stres hingga breakdown, (b) rasa tidak berdaya dan menarik diri, (c) kehilangan rasa percaya diri, (d) merasa dirinya sebagai penyebab, (e) kebencian kepada orang yang berkelamin sama seperti pelaku. Menurut Purnama (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) mengatakan bahwa korban kekerasan seksual dapat memberikan dampak terhadap psikologisnya berupa mimpi buruk, kewaspadaan berlebihan, gangguan tidur, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidupnya.
     Gangguan stres pasca trauma (PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman pedih setelah stres fisik maupun emosional melampaui batas ketahanan (Kaplan, dikutip dalam Wardhani & Lestari, n.d.).
     Aspek fisik. Menurut Rumini dan Sundari (dikutip dalam Vein, 2014) mengatakan bahwa perempuan yang mengalami pelecehan seksual dapat mengalami akibat fisik seperti nyeri tulang belakang, kerusakan organ internal yang sering menyebabkan kematian. Menurut Hoelzerdan (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa trauma fisik (termasuk genitalia) yang dialami korban-korban kekerasan seksual yang bervariasi, mulai dari luka memar hingga kematian. Cedera fisik yang paling sering terjadi adalah pada bagian kepala, wajah, dan leher.
     Aspek romantisme. Menurut Wirawan (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa selain dampak fisik dan psikologis, korban kekerasan seksual akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, dan cenderung bersikap agresif.
     Kesulitan dalam berhubungan. Menurut Loeb (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa tingkat masalah yang timbul dari adanya keinginan yang rendah dalam hubungan seksual, ketidakmampuan untuk mentoleransi sentuhan atau untuk pengalaman orgasme. Menurut Dennerstein, Guthrie, dan Alford (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa sejarah korban kekerasan seksual menyebabkan rendahnya kualitas hubungan dengan pasangannya.
     Kenangan traumatis. Menurut Ulum, Lestari, dan Hertinjung (2010) menyatakan bahwa pengalaman traumatis berhubungan dengan rasa aman, kekuasaan, kepercayaan, harga diri, dan kedekatan. Korban kekerasan juga mengalami kesulitan dalam membangun rasa percaya diri dan cinta terhadap lawan jenis. Hal ini dikarenakan adanya evaluasi negatif yang berhubungan dengan harga dirinya (McCann dalam Loho, 2002).

Upaya Pencegahan
            Kejahatan atau tindakan kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial dan merupakan ancaman potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial (Muladi & Nawawi, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
     Upaya penal. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana yang merupakan cara paling tua namun masih digunakan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu digunakan dalam produk legislatif untuk menakuti dan mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang (Nawawi, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
     Upaya non penal. Penanggulangan secara non penal adalah penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang berarti bahwa penanggulangan ini lebih bersifat preventif. Usaha-usaha non penal dapat berupa penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat (Nainggolan, 2008).
     Upaya preventif. Penanggulangan secara preventif adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Kejahatan dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan itu sebab bagaimanapun kejahatan tidak akan pernah habis. Dalam hal ini usaha pencegahan lebih diutamakan, karena jelas lebih baik dan ekonomis dibandingkan tindakan represif (Nainggolan, 2008).
     Upaya reformatif. Upaya reformatif adalah segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang-undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah kejahatan ulangan, dan dilakukan setelah adanya upaya-upaya untuk memperbaiki jiwa penjahat kembali (Nainggolan, 2008).






DAFTAR PUSTAKA
Komisi Nasional Perempuan. (n.d.). Kekerasan seksual. Diunduh dari
Nainggolan, L. H. (2008). Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Jurnal Equality, 13(1), 75-80. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18417/1/equ-feb2008-13%20(2).pdf
(“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi. “ n.d.). Diunduh dari http://humas-virtual.blogspot.com/2013/01/pelecehan-seksual-dalam-pandangan.html
Sumera, M. (2013). Perbuatan kekerasan/ pelecehan seksual terhadap perempuan. Lex et Societatis, 1(2), 43-44. Diunduh dari http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/viewFile/1748/1389
Ulum, P. N., Lestari, S., & Hertinjung, W. S. (2010). Romantisme wanita korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 12(2), 126-136. Diunduh dari http://psikologi.ums.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/2010_romantisme-wanita-korban.pdf

Wardhani, Y. F & Lestari, W. (n.d.). Gangguan stres pasca trauma pada korban pelecehan seksual dan perkosaan. Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan. Diunduh dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Gangguan%20Stres%20Pasca%20Trauma%20pada%20Korban.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar