Selasa, 11 November 2014

Meiliana Stansyah Final Projeck KBK Penulisan Ilmiah

Gangguan Makan Pada Remaja Putri
     Menurut King (2007/2010) gangguan makan merupakan suatu hal yang terus menjadi perhatian, namun banyak orang melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan. Motivasi untuk menjadi kurus dapat menjadi sangat kuat sehingga beberapa individu melakukan diet bahkan ketika badan mereka lemah dan membutuhkan makanan.
     Menurut Nevid, Rathus, dan Greene (2003/2005) gangguan makan memiliki karakteristik pola makan yang terganggu dan cara yang maladaptif dalam mengontrol berat badan. Beberapa orang yang secara sengaja membuat diri sendiri lapar, mereka terobsesi dengan berat badan dan bermaksud mencapai citra tubuh yang terlalu kurus. Ada juga yang memiliki siklus di mana mereka makan banyak dan kemudian berkeinginan untuk menghilangkan kelebihan makan dengan cara memuntahkannya.
     Menurut Setiawan (2004) pada umumnya penderita gangguan makan memiliki kepercayaan diri yang rendah, perasaan tidak berdaya, dan perasaan tidak sebanding dengan orang lain. Mereka menggunakan makanan dan diet sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah dalam hidup mereka. Banyak dari mereka yang berpikir bahwa makanan adalah sumber kenyamanan, sementara penurunan berat badan dianggap sebagai cara agar diterima oleh masyarakat.
     Jadi dapat disimpulkan bahwa gangguan makan adalah motivasi untuk mendapatkan bentuk badan yang diinginkan dengan menggunakan cara yang salah.


Jenis-jenis Gangguan Makan
     Terdapat dua jenis gangguan dalam pola makan yang dihubungkan dengan penekanan berlebihan pada kondisi ideal pada remaja putri yaitu (a) anoreksia nervosa, (b) bulimia nervosa (Harrison & Hefner; Stice et al., dikutip dalam King, 2007/2010).
     Anoreksia nervosa. Anoreksia memiliki arti tidak memiliki hasrat untuk makan, yang sesungguhnya keliru karena kehilangan nafsu makan di antara penderita anoreksia jarang terjadi. Mereka melaparkan diri hingga mencapai suatu titik yang membahayakan. Meskipun berkurangnya berat badan merupakan tanda yang paling nyata, karakteristik klinis yang paling utama adalah ketakutan yang besar akan obesitas. Remaja putri yang anoreksia biasanya mencoba diet yang ekstrem serta sering kali melakukan latihan fisik secara berlebihan (Nevid, Rathus, & Greene, 2003/2005). Remaja putri dengan gangguan makan seringkali melihat diri mereka lebih berat dibandingkan dengan remaja normal lain dengan berat badan yang sama (Horne, Van Vactor, & Emerson, dikutip dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2003/2005).
     Bulimia nervosa. Gangguan makan yang memiliki karakteristik berulang dengan menelan makanan dalam jumlah besar, diikuti dengan cara yang salah untuk mencegah penambahan berat badan. Hal ini melibatkan mengeluarkan makanan dengan memuntahkannya, menggunakan obat diuretik, ataupun berpuasa untuk menjalankan latihan fisik yang berlebihan (Nevid, Rathus, & Greene, 2003/2005). Rata-rata terjadinya bulimia adalah ketika tekanan tentang diet dan ketidakpuasan akan bentuk tubuh berada pada puncaknya. Bulimia nervosa biasanya mempengaruhi wanita kulit putih (non Hispanik) pada tahap remaja akhir atau dewasa awal (APA, dikutip dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2003/2005).

Penyebab Gangguan Makan
     Faktor sosiokultural. Menurut Stice (dikutip dalam Nevid, Rathus, dan Greene, 2003/2005) tekanan untuk mencapai standar kurus yang tidak realistis, dikombinasi dengan pentingnya faktor penampilan sehubungan dengan peran wanita di masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan khususnya remaja putri menjadi tidak puas dengan tubuhnya sendiri.
     Faktor psikososial. Menurut Lowe, Golaves, & Murphy-Eberenz (dikutip dalam Nevid, Rathus, dan Greene, 2003/2005) remaja putri yang menderita bulimia menjadi sangat peduli tentang kemungkinan bertambahnya berat badan sehingga berusaha untuk muntah setiap kali sesudah makan. Memuntahkan makanan diperkuat secara negatif karena menghasilkan perasaan lega dari kecemasan akan bertambahnya berat badan.
     Faktor keluarga. Menurut Fairburn et al.; Wonderlich et al. (dikutip dalam Nevid, Rathus, dan Greene, 2003/2005) gangguan makan sering kali berkembang dari adanya konflik dalam keluarga. Beberapa remaja menggunakan penolakan untuk makan sebagai cara untuk menghukum orangtua mereka karena perasaan kesepian yang dirasakan di rumah.
     Faktor biologis. Menurut Goode (dikutip dalam Nevid, Rathus, dan Greene, 2003/2005) diduga bahwa terdapat ketidaknormalan dalam mekanisme yang mengatur rasa lapar dan kenyang pada penderita bulimia, kemungkinan berkaitan dengan kadar serotonin otak. Menurut Levitan et al. (dikutip dalam Nevid, Rathus, dan Greene, 2003/2005) rendahnya serotonin dapat menyebabkan munculnya episode makan berlebihan, terutama karbohidrat.

Dampak Psikologis Akibat Gangguan Makan
     Beberapa dampak psikologis pada anoreksia nervosa antara lain (a) mengembangkan citra individual mengenai gambaran tubuh mereka, (b) mendeteksi sesuatu yang berbeda atas perubahan tubuh mereka (Santrock, dikutip dalam Puspitasari, (n.d.). Sedangkan beberapa dampak psikologis pada bulimia nervosa antara lain (a) kekhawatiran berlebihan terhadap penampilan, (b) kepercayaan diri yang rendah, (c) meningkatnya kadar kecemasan ketika makan (Nurfitriana, n.d.).
Komplikasi Medis Akibat Gangguan Makan
     Komplikasi medis anoreksia nervosa. Pasien dengan anoreksia nervosa rentan terhadap kematian mendadak apabila kehilangan berat badan mencapai 35 persen di bawah berat badan ideal. Komplikasi utama dapat berupa (a) aspirasi, (b) ruptur lambung, (c) hipokalemi dengan aritmia jantung, (d) pankreatitis, (e) kardiomiopati karena ipekak (Isselbacher et al., 1994/1995).
     Komplikasi medis bulimia nervosa. Kemungkinan komplikasi medis pada penderita bulimia nervosa adalah (a) erosi enamel gigi, (b) haid tidak teratur, (c) ketergantungan pada obat pencahar, (d) ruptur lambung, (e) pankreatitis kronik (Graber, Toth, & Herting, 2006).

Penanganan Gangguan Makan
     Terapi kognitif-behavioral. Terapi ini berguna dalam membantu penderita bulimia mengatasi pikiran dan keyakinan yang self-defeating seperti pemikiran yang perfeksionis mengenai diet dan berat badan (Nevid, Rathus, & Greene, 2003/2005).
     Terapi interpersonal. Terapi ini menekankan pada penyelesaian masalah interpersonal dengan keyakinan bahwa fungsi interpersonal yang semakin efektif akan menghasilkan sikap makan yang lebih sehat (Agras et at., dikutip dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2003/2005).
     Gangguan makan dapat menjadi masalah yang berkelanjutan dan tidak mudah dihilangkan, terutama ketika ketakutan yang berlebihan akan berat badan dan citra tubuh (Nevid, Rathus, & Greene, 2003/2005). Menurut studi yang dilakukan Keel et al. (dikutip dalam Nevid, Rathus, dan Greene, 2003/2005) bahwa 10 tahun sesudah awal munculnya bulimia, sekitar 30 persen wanita tetap menunjukkan perilaku makan berlebihan dan mengeluarkannya. Hal ini berarti kesembuhan terhadap gangguan makan sangat sulit untuk dilakukan dan membutuhkan waktu yang lama, dan perilaku tersebut dapat muncul kembali.
Simpulan
     Dari penjelasan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa anoreksia nervosa dan bulimia nervosa adalah dua pola gangguan makan pada kebanyakan remaja putri. Penyimpangan gangguan makan ini banyak dilakukan dengan tujuan mendapatkan bentuk tubuh ideal yang diinginkan oleh penderita tanpa menyadari konsekuensi yang mungkin terjadi. Dan dari ke-2 gangguan makan yang telah dipaparkan dapat dikatakan ke-2 nya sama-sama berbahaya bagi kesehatan. Maka sangat dianjurkan bagi remaja yang ingin menurunkan berat badan agar konsultasi terlebih dahulu kepada dokter gizi agar dapat menjalani diet sehat.

DAFTAR PUSTAKA

Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, & Kasper. (1999). Harrison: Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam [electronic version]. Dalam A. H. Asdie (Ed.). Diunduh dari http://books.google.co.id/books?id=vpN4ksOeDroC&pg=PA508&lpg=PA508&dq=penanganan+medis+bulimia&source=bl&ots=eEaQCaj_Ef&sig=NKjroDVsWgxBu_RzFdRtRGWIU-w&hl=en&sa=X&ei=1gZcVMjJA8S8uATasYDQCg&redir_esc=y#v=onepage&q=penanganan%20medis%20bulimia&f=false
King, L. A. (2010). Psikologi umum: Sebuah pandangan apresiatif (B. Marwensdy, Penerj.). Jakarta: Salemba Humanika. (karya asli diterbitkan tahun 2007)
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal. (Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Penerj.) (R. Medya, W. C. Kristiaji, Ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nurfitriana, N. (n.d.). Bulimia. Diunduh dari https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Bulimia
Puspitasari, K. (2007). Faktor-faktor penyebab anoreksia nervosa pada remaja putri. (Skripsi tidak diterbitkan). Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Setiawan, E. (2004). Penyimpangan pola makan. Majalah Komunikasi Maranatha. 12(10). Diunduh dari http://majour.maranatha.edu/index.php/Jurnal-MKM/article/view/779
Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan
Menurut Komisi Nasional Perempuan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual yang disampaikan melalui kontak fisik maupun non fisik terhadap tubuh seksual seseorang. Termasuk dengan menggunakan siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi-materi pornografi dan keinginan seksual. Sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, dan merasa direndahkan martabatnya (Komisi Nasional Perempuan [Komnas Perempuan], 2009).
Menurut Sumera. Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas, mulai dari ungkapan verbal (komentar), perilaku (mencolek) tidak senonoh, ataupun mempertunjukkan gambar porno. Pihak perempuan dapat pula diserang atau dipaksa untuk mencium, memeluk ataupun diancam apabila menolak memberikan pelayanan seksual (Sumera, 2013). Menurut Vein, pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks baik secara verbal maupun fisik (Vein, 2014).
            Maka dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah tindakan bernuansa seksual yang bukan hanya dilihat dari tindakan nyata melainkan dapat diungkapkan secara verbal.


Masalah Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual merupakan bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah global (Atmasasmita, dikutip dalam Sumera, 2013). Perjalanan pergerakan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class citizens sangat panjang dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka agar setara dengan kaum laki-laki. Di daerah konflik, kedudukan perempuan  makin terpuruk dengan adanya berbagai tindak kekerasan yang menciptakan cukup banyak korban baik secara fisik maupun psikologis. Hukum Indonesia tidak mengenal istilah kekerasan terhadap perempuan, meskipun fakta ini muncul semakin marak di berbagai penjuru Indonesia (Kalibonso, dikutip dalam Sumera, 2013).

Penyebab Pelecehan Seksual
     Faktor intern. Adalah faktor-faktor yang terdapat pada diri individu. Faktor ini khusus dilihat dari individu serta dicari hal-hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan seksual (Nainggolan, 2008).
     Faktor kejiwaan. Yakni kondisi kejiwaan atau kesadaran diri yang tidak normal dari seseorang juga dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan. Misalnya, nafsu seks yang abnormal, sehingga melakukan pemerkosaan terhadap korban wanita yang tidak menyadari kesadaran diri si penjahat (Nainggolan, 2008).
     Sakit jiwa. Dalam keadaan sakit jiwa, penderita memiliki kelainan mental yang didapat baik dari faktor keturunan maupun dari sikap kelebihan dalam pribadi orang tersebut. Sehingga ia sulit menetralisir rangsangan seksual sebagai energi psikis yang tumbuh dalam dirinya, dan apabila tidak diarahkan akan menimbulkan hubungan yang menyimpang (Nainggolan, 2008).
     Psycho-patologi. Mengandung arti bahwa pada diri seseorang tertentu yang memungkinkan seseorang tersebut melakukan perbuatan tertentu yang menyimpang, walaupun orang tersebut tidak sakit jiwa (Chainur, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
     Psikologis. Salah satu aspek dari hubungan seksual adalah aspek yang mendasari puas atau tidak puasnya dalam melakukan hubungan seksual dengan segala eksesnya. Bukan berarti setiap melakukan hubungan seksual dapat memberikan kepuasan, adapula kemungkinan tertentu yang muncul akibat ketidakpuasan dalam melakukan hubungan seksual. Dan aspek inilah yang merupakan penyimpangan hubungan seksual terhadap pihak lain yang menjadi korbannya (Nainggolan, 2008).
     Faktor biologis. Di dalam kehidupannya manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi, dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia menciptakan aktivitasnya. Bila tujuan itu tercapai, kebutuhan yang terpenuhi itu mungkin hanya untuk sementara dan merupakan batas penghentian aktivitasnya (Nainggolan, 2008). Atribut pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan kelemahan laki-laki dalam mengontrol dorongan alamiahnya tersebut. Laki-laki melakukan pelecehan seksual untuk memenuhi kebutuhannya sendiri yaitu melakukan rangsangan erotis untuk menutupi dan mengatasi kelemahannya. Ketidakmampuannya dalam menahan keinginan dan dorongan-dorongan seksualnya sendiri yang diungkapkan melalui pelecehan seksual (Collier, dikutip dalam Vein, 2014).

     Faktor moral. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku yang menyimpang. Sebab moral itu adalah ajaran tingkah laku tentang kebaikan-kebaikan dan merupakan hal yang vital dalam menentukan tingkah laku. Pada kenyataannya, moral bukan sesuatu yang tidak bisa berubah, melainkan ada pasang surutnya, baik dalam diri individu maupun masyarakat (Nainggolan, 2008).
     Stress terhadap pernikahan. Mengalami stres terhadap kehidupan pernikahannya akan membuat seseorang berada dalam tekanan emosional sehingga rentan melakukan pelecehan seksual (“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi, n.d.).
     Faktor ekstern. Adalah faktor-faktor yang berada di luar diri pelaku. Faktor ekstern ini berpangkal pokok pada individu yang mempunyai hubungan dengan kejahatan kesusilaan (Nainggolan, 2008).
     Faktor sosial budaya. Realita bahwa fisik laki-laki lebih kuat dari pada perempuan turut mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tingkah laku laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya. Selain itu, budaya pun mempengaruhi perlakuan seksualitas yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi. Hal ini berdasarkan peran jenis kelamin atau social-role stereotype, dimana menempatkan laki-laki pada posisi superordinat dan perempuan dalam posisi subordinat. Hal ini lebih memungkinkan timbulnya pelecehan (perendahan secara harkat dan martabat) sampai timbulnya pelecehan seksual (Collier, dikutip dalam Vein, 2014). Akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka tidak dapat dihindarkan timbulnya dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Akibat modernisasi tersebut, berkembanglah budaya pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian perempuan yang merangsang adalah faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya kejahatan seksual (Nainggolan, 2008).
     Faktor pendidikan. Pendidikan dalam hal ini juga berpengaruh terhadap adanya pelecehan seksual. Perempuan belum punya banyak kesempatan untuk menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga belum mampu menolak perlakuan, sikap diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini biasanya terjadi dengan keberadaan atau posisi laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai bawahannya (Collier, dikutip dalam Vein, 2014).
     Faktor ekonomi. Pada masyarakat dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi rendah, mobilitas sangat rendah frekuensinya sehingga realisasi mobilitas tersebut terpaku pada lingkungannya saja. Hal mana mendorong budaya kekerasan sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah adalah kaum perempuan. Apalagi adanya budaya kekerasan yang mendominir realitas kehidupan sehari-hari, kekuatan kelompok merupakan simbol dan status sosial dalam masyarakat (Collier, dikutip dalam Vein, 2014).
     Suasana yang mendukung. Biasanya pelecehan seksual lebih banyak terjadi di fasilitas umum terutama pada angkutan umum yang penuh, sehingga orang suka mencari-cari kesempatan (“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi, n.d.).
            Menurut Vein (2014) penyebab pelecehan seksual adalah (a) pergeseran nilai-nilai sosial di masyarakat, (b) sex education yang kurang sejak dini baik dari orangtua maupun guru, (c) pelaku pelecehan seksual sejak awal menderita sakit mental, (c) pelaku pelecehan mempunyai perilaku antisosial, (d) sosialisasi dalam masyarakat yang kurang.



Dampak Pelecehan Seksual
     Aspek psikologis. Menurut Kelly (dikutip dalam Vein, 2014) dampak utama psikologis pelecehan seksual yang sering muncul adalah (a) stres hingga breakdown, (b) rasa tidak berdaya dan menarik diri, (c) kehilangan rasa percaya diri, (d) merasa dirinya sebagai penyebab, (e) kebencian kepada orang yang berkelamin sama seperti pelaku. Menurut Purnama (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) mengatakan bahwa korban kekerasan seksual dapat memberikan dampak terhadap psikologisnya berupa mimpi buruk, kewaspadaan berlebihan, gangguan tidur, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidupnya.
     Gangguan stres pasca trauma (PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman pedih setelah stres fisik maupun emosional melampaui batas ketahanan (Kaplan, dikutip dalam Wardhani & Lestari, n.d.).
     Aspek fisik. Menurut Rumini dan Sundari (dikutip dalam Vein, 2014) mengatakan bahwa perempuan yang mengalami pelecehan seksual dapat mengalami akibat fisik seperti nyeri tulang belakang, kerusakan organ internal yang sering menyebabkan kematian. Menurut Hoelzerdan (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa trauma fisik (termasuk genitalia) yang dialami korban-korban kekerasan seksual yang bervariasi, mulai dari luka memar hingga kematian. Cedera fisik yang paling sering terjadi adalah pada bagian kepala, wajah, dan leher.
     Aspek romantisme. Menurut Wirawan (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa selain dampak fisik dan psikologis, korban kekerasan seksual akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, dan cenderung bersikap agresif.
     Kesulitan dalam berhubungan. Menurut Loeb (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa tingkat masalah yang timbul dari adanya keinginan yang rendah dalam hubungan seksual, ketidakmampuan untuk mentoleransi sentuhan atau untuk pengalaman orgasme. Menurut Dennerstein, Guthrie, dan Alford (dikutip dalam Ulum, Lestari, & Hertinjung, 2010) menyatakan bahwa sejarah korban kekerasan seksual menyebabkan rendahnya kualitas hubungan dengan pasangannya.
     Kenangan traumatis. Menurut Ulum, Lestari, dan Hertinjung (2010) menyatakan bahwa pengalaman traumatis berhubungan dengan rasa aman, kekuasaan, kepercayaan, harga diri, dan kedekatan. Korban kekerasan juga mengalami kesulitan dalam membangun rasa percaya diri dan cinta terhadap lawan jenis. Hal ini dikarenakan adanya evaluasi negatif yang berhubungan dengan harga dirinya (McCann dalam Loho, 2002).

Upaya Pencegahan
            Kejahatan atau tindakan kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial dan merupakan ancaman potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial (Muladi & Nawawi, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
     Upaya penal. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana yang merupakan cara paling tua namun masih digunakan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Hukum pidana hampir selalu digunakan dalam produk legislatif untuk menakuti dan mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang (Nawawi, dikutip dalam Nainggolan, 2008).
     Upaya non penal. Penanggulangan secara non penal adalah penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang berarti bahwa penanggulangan ini lebih bersifat preventif. Usaha-usaha non penal dapat berupa penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat (Nainggolan, 2008).
     Upaya preventif. Penanggulangan secara preventif adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Kejahatan dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan itu sebab bagaimanapun kejahatan tidak akan pernah habis. Dalam hal ini usaha pencegahan lebih diutamakan, karena jelas lebih baik dan ekonomis dibandingkan tindakan represif (Nainggolan, 2008).
     Upaya reformatif. Upaya reformatif adalah segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang-undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah kejahatan ulangan, dan dilakukan setelah adanya upaya-upaya untuk memperbaiki jiwa penjahat kembali (Nainggolan, 2008).






DAFTAR PUSTAKA
Komisi Nasional Perempuan. (n.d.). Kekerasan seksual. Diunduh dari
Nainggolan, L. H. (2008). Bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Jurnal Equality, 13(1), 75-80. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18417/1/equ-feb2008-13%20(2).pdf
(“Pelecehan Seksual Dalam Pandangan Psikologi Komunikasi. “ n.d.). Diunduh dari http://humas-virtual.blogspot.com/2013/01/pelecehan-seksual-dalam-pandangan.html
Sumera, M. (2013). Perbuatan kekerasan/ pelecehan seksual terhadap perempuan. Lex et Societatis, 1(2), 43-44. Diunduh dari http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/viewFile/1748/1389
Ulum, P. N., Lestari, S., & Hertinjung, W. S. (2010). Romantisme wanita korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 12(2), 126-136. Diunduh dari http://psikologi.ums.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/2010_romantisme-wanita-korban.pdf

Wardhani, Y. F & Lestari, W. (n.d.). Gangguan stres pasca trauma pada korban pelecehan seksual dan perkosaan. Surabaya: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistim dan Kebijakan Kesehatan. Diunduh dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Gangguan%20Stres%20Pasca%20Trauma%20pada%20Korban.pdf

Selasa, 07 Oktober 2014

Hari ke-10 blok Filsafat sesi ke-2

Pertemuan ke-10 blok Filsafat sesi 2    (Pak ROT)

EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE
Apa itu 'eksistensialisme'?
aliran utama yang pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya yg khas di tengah makhluk lainnya
jiwa ekstensinalisme ialah pandangan manusia sbg eksistensi
etimologis: ex=keluar, sistentia (sistere)=berdiri. manusia bereksistesi = manusia baru menemukan diri sbg aku dengan keluar dari dirinya.
pusat diriku terletak di luar diriku. ia menemukan pribadinya dengan seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengn apa yg ada di luar dirinya
hanya manusialah bereksistensi. eksistensi tidak bisa disamakan dgn "berada". pohon, anjing berada tapi tidak bereksistensi
eksistensisialisme dr segi isi bukan satu kesatuan, tapi lebih merpakan gaya berflsafat.
beberapa tokoh filsafat yang menganut gaya eksistensialisme, a.l.: Kierkegaard, Edmund Husserl, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, Jean Paul Sartre, dll.
sulit menyeragamkan definisi mengena eksistensialisme, krn adanya peredaan pandangan mengenai eksistensi itu sendiri
namun satu hal yang sama: filsafat harus bertitik tolak pada manusai konkret, manusia sbg eksistensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi

Beberapa ciri eksistensialime
motif pokok adalah eksistensi, cara manusia berada. hanya manusia bereksistensi.
bereksistensi harus diartikan secara dinamis. bereksistensi berarti menciptakan diri secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan.
manusia dipandang terbuka, belum selesai. manusia terikat pd dunia sekitarnya, khususnya pd sesamanya.
memberi penekanan pd pengalaman konkrit

Siapa itu Jean Paul Sartre
lahir di Paris 1905
1929 menjadi guru
1931-36 dosen filsafat di Le Havre
1941 menjadi tawanan perang
1942-44 dosen Loycee Pasteur
banyak menulis karya filsafat dan sastra
dipengaruhi oleh Husserl dan Heidegger

Pemikiran filsafat Sartre
sulit menjelasksn pemikiran filsafat Sartre secara singkat.
Bagi Sartre, manusia mengada dgn kesadaran sbg dirinya sendiri. keberadaan manusia berbeda dgn keberadaan benda lain yg tidak punya kesadaran
Untuk manusia, eksistensi adalah keterbukaan, beda dgn benda lain yg keberadaannya sekaligus berarti esensinya. bagi manusia eksistensi mendahului esensi
Asas pertama untuk memahami manusia harus mendekatinya sbg subjektivitas. apapun makna yg diberiakn pd eksistensinya, manusia sendirilah yg bertanggungjawab.
Tanggungjawab yg menjadi beban kita jauh lebih besar dr sekedar tanggungjawab terhadap diri kita sendiri.

Dibedakan 'berada dlm diri' dan 'berada untuk diri'
Berada dalam diri = berada an sich, berada dlm dirinya, berada itu sendiri. Mis. meja itu meja, bukan kursi, bukan tempat tidur. semua yg beada dlm diri ini tidak aktif. mentaati prinsip it is what it is. Maka bagi Sartre segala yg dalam diri: memuakkan.
Sementara berada untuk diri = berada yang dgn sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia.Manusia punya hubungan dgn keberadaannya. bertanggungjawab atas faktas bahwa ia ada. Mis. manusisa bertanggungjawab bhw ia pegawai, dosen. benda tidak sadar bhw dirinya ada, tp manusia sadar bhw ia berada. Pd manusia ada kesadaran.
biasanya kesadaran kita bukan kesadran akan diri, melainkan kesadaran diri.

baru kalau kita scr refleksif menginsyafi cara kita mengarahkan diri pd objek, kesadaran kita diberi bentuk kesadaran akn diri.
Tuhan tidak bisa dimintai tanggungjawab. Tuhan tidak terlibat dlm putusan yg diambil oleh manusia. Manusia adalah kebebasan, dan hanya sbg makhluk yg bebas dia tanggungjawab.
tanpa kebebasan eksistensi manusia menjadi absurd. bila kebebasannya ditiadakan, maka manusia hanya sekedar esensi belaka.

Apakah yang mengurangi kebebasan manusia?
Beberapa kenyataan (kefaktaan) yg mengurangi penghayatan kebebasn:
- tempat kita berada: situasi yg memberi struktur kepada kita, tp kita juga beri struktur
- masa lalu: tiak mungkin meniadakan krn masa lampau menjadikan kita sebagaimana kita sekarang ini.
- lingkungan sekitar (Umwelt):
- kenyataan adanya sesama manusia dgn eksistensinya sendiri
- maut: tdk bisa ditunggu saat tibanya, walaupun pasti akan tiba.
Walaupun kefaktaan ini melekat dlm eksistensi manusia, tapi kebebasan eksistensial tdk bisa dikurangi/ditiadakan

Ketubuhan manusia
Dalam eksistensi manusia, kehadiran selalu menjelma sbg wujud yg bertubuh. Tubuh mengukuhkan kehadiran manusia.
Tubuh sebagai pusat orientasi tdk bisa dipandang sbg alat sematamata, tp mengukuhkan kehadiran kita sbg eksistensi

Komunikasi dan cinta
Komunikasi= suatu hal yg apriori tak mungkin tanpa adanya sengketa, krn setiap kali orang menemui org lain pd akhirnya akan terjadi saling objektifikasi, yg seorg seolah-olah membekukan orang lain. terjadi saling pembekuan shg masing2 jadi objek.
Cinta = bentuk hubungan keinginan saling memiliki (objek cinta). Akhirnya cinta bersifat sengketa krn objektifikasi yg tak terhindarkan.

Sartre dan Simone de Beauvoir

Sumber: PPT Pak ROT

Hari ke-10 blok Filsafat sesi 1

Pertemuan ke-10 sesi 1   (Pak ROT)

EKSISTENSIALISME MENURUT KIERKEGAARD

  • Eksistensialisme = aliran filsafat yang pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya khas di tengah-tengah makhluk lainnya.
  • Jiwa eksistensialisme = pandangan manusia sebagai eksistensi
  • Etimologis = ex: keluar, sistentia (sistere): berdiri --> manusia bereksistensi maksudnya adalah manusia baru menemukan diri sebagai aku dengan keluar dari dirinya.
  • Pusat diri terletak di luar diriku. Hanya manusia yang bereksistensi.
  • Eksistensialisme dari segi isi bukan kesatuan, tapi lebih merupakan gaya berfilsafat.
  • Tokoh yang menganut gaya eksistensialisme:
    1. Kierkegaard
    2. Edmund Husserl
    3. Martin Heidegger
    4. Gabriel Marcel
    5. Jean Paul Sartre
  • Ciri-ciri eksistensialisme
    1. motif pokok adalah eksistensi, cara manusia berada
    2. bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan diri secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan
    3. manusia di pandang terbuka, belum selesai
    4. member penekanan pada pengalaman konkret


Kierkegaard, lahir di Kopenhagen, Denmark 15 Mei 1813. Belajar teologi di Universitas Kopenhagen, tapi tidak selesai. Dikenal sebagai bapak eksistensialisme.

  • Pokok-pokok ajaran Kierkegaard
    1. Kierkegaard memandang Hegel sebagai pemikir besar, tetapi Hegel melupakan satu hal yaitu eksistensi manusia dan konkrit. Manusia tidak dapat dibicarakan "pada umumnya", karena manusia pada umumnya tidak ada.
    2. Yang ada adalah manusia yang semuanya penting, berada dan berdiri di hadapan Tuhan
    3. Eksistensi bagi Kierkegaard adalah merealisasi diri, mengikat diri dengan bebas, dan mempraktekkan keyakinannya dan mengisi kebebasannya.
    4. Manusia harus bereksistensi, yakni menjadi (dalam waktu) seperti ia (akan) ada.
  • Ada 3 cara bereksistensi:
    1. Sikap estetis = merengguh sebanyak mungkin kenikmatan, yang dikuasai oleh perasaan.
    2. Sikap etis = menerima kaidah-kaidah moral, suara hati dan memberi arah pada hidupnya
    3. Sikap religius = berhadapan dengan Tuhan. Karena manusia religius percaya pada Allah
Manusia menjadi seperti yang dipercayai
=> Pernyataan Parmenides hingga Hegel: "Berpikir sama dengan berada" ditolak oleh Kierkegaard. Disini dan kini manusia percaya dan menentukan bagaimana dia akan ada secara abadi.

Waktu dan keabadian
=> Setiap orang adalah campuran dari ketakterhinggaan dan keterhinggaan. Manusia adalah gerak menuju Allah, tapi juga terpisah dari Allah. Manusia hidup dalam 2 dimensi sekaligus: keabadian dan waktu,

Subyektivitas dan eksistensi sebagai tugas
=> eksistensi manusia bukan sekedar suatu fakta, tapi lebih daei itu. Eksistensi manusia adalah tugas yang harus di jalani dengan kesejatian sehingga orang tidak tampil dengan semu.

Publik dan Individu
=> Publik bagi kierkegaard hanya abstraksi belaka, bukan realitas.



Sumber: PPT (ROT)

Jumat, 26 September 2014

Hari ke-8 blok Filsafat (sesi 2), 26-9-2014

Pertemuan ke-8 sesi 2      (Pak Bonar)

KEBEBASAN
Jiwa dan kebebasan
~ eksistensi jiwa dalam tubuh memampukan manusia untuk menghadirkan diri secara total di dunia
~ dalam fungsi menentukan perbuatan, jiwa berhubungan dengan kehendak bebas
~ kebebasan itu mendasar bagi manusia dan merupakan penting humanisme

Pandangan Determinisme

  • Aliran yang menolak kebebasan sebagai kenyataan hidup bagi manusia. Setiap peristiwa, termasuk tindakan dan keputusan manusia disebabkan oleh peristiwa lainnya.
  • Seluruh kegiatan manusia di dunia berjalan menurut keharusan yang bersifat deterministik
    1. Determinisme fisik-biologis
    2. Determinisme psikologis
    3. Determinisme sosial
    4. Determinisme teologis


Kebebasan sebagai eksistensi manusia
~ Kelemahan determinisme
   - menyangkal sifat multidimensional dan paradoks manusia
   - menyangkal bahwa manusia selalu melakukan evaluasi dan penilaian terhadap tindakannya
   - meniadakan adanya tanggung jawab

Kebebasan sebagai bagian eksistensi manusia, argumennya:
=> manusia hidup dalam "kemungkinan dapat"/ pilihan berbeda bobot
=> adanya tanggung jawab
=> makna perbuatan moral ada pada kebebasan

Arti Kebebasan
(umum) = kebebasan negatif/ tidak ada hambatan. Tapi ini bukan kebebasan eksistensional
(khusus) = - penyempurnaan diri
                  - kesangupan memilih dan memutuskan
                  - kemampuan mengungkap berbagai dimensi kemanusiaan


Jenis-Jenis Kebebasan

  • Kebebasan horizontal: berkaitan dengan kesenangan dan kesukaan, bersifat spontan, semata pertimbangan intelektual
  • Kebebasan vertikal: pilihan moral, pertimbangan tujuan, tingkatan nilai
  • Kebebasan eksistensial: kebebasan positif, lambang martabat manusia
  • Kebebasan sosial: terkait dengan orang lain
  • Nilai humanistik dalam kebebasan eksistensial


Kebebasan sosial dibatasi dalam hal fisik, psikis, normatif. Ada 4 alasan

  1. Menyatakan pengertian
  2. Memberi ruang bagi kebebasan intelektual
  3. Menjamin pelaksanaan keadilan bagi masyarakat
  4. Terkait dengan hakikat manusia


SEJARAH PERKEMBANGAN MASALAH KEBEBASAN

  • Masalah yang sudah sangat lama dan memiliki sejarah panjang
  • Filsafat Yunani tidak memberikan jawaban yang memuaskan, karena
    1. adanya pandangan bahwa semua hal berada di bawah "nasib", "kehendak mutlak" yang mengatasi manusia menentukan tindakan.
    2. menurut pemikiran Yunani, manusia adalah bagian alam maka harus mengikuti hukum umum yang mengaturnya.
    3. manusia terpengaruh oleh sejarah yang bergerak secara siklis
  • Zaman abad pertengahan, masalah kebebasan dilihat dalam perspektif teosentrik
  • Zaman modern, perspektif teosentrik digantikan oleh perspektif antroposentrik
  • Era kontemporer, kebebasan dipermasalahkan dari sudut pandang sosial
  • Kebebasan dalam pikiran Timur cenderung dilihat sebagai pembebasan dari kendala keinginan egosentrik dan dari kecemasan untuk mencapai kesatuan dan pengendalian diri

Sumber: PPT Pak Bonar